Lifestyle

Hipertensi Umum Dialami Kaum Milenial, Ketahui Gaya Hidup yang Jadi Solusinya

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan tekanan darah tinggi atau hipertensi jadi kondisi umum dialami generasi milenial. Dari data tersebut diketahui 34,11 persen orang dewasa di atas usia 18 tahun mengalami hipertensi. Jumlah itu meningkat dari tahun 2013, yang menunjukkan 14,5 persen orang dewasa berusia di atas 18 tahun menderita penyakit tersebut.

Sementara orang berusia 25 43 tahun yang punya penyakit hipertensi sebanyak 14.7 persen dan 24.8 persen pada usia 35 44 tahun. Dr Badai Bhatara Tiksnadi, Sp.JP (K), MM, FIHA, dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) menjelaskan, gaya hidup kurang bergerak menjadi salah satu faktor penyebabnya. "Pada milenial, kemajuan teknologi yang membuat kita kurang bergerak, dan stres menyebabkan risiko hipertensi meningkat. Sekarang ini kita bisa memesan makanan secara online lewat aplikasi sehingga kita lebih sedikit bergerak," jelas Badaidalam acara "Omron Virtual Media Briefing bersama YJI dan PERKI" yang diadakan virtual pada Kamis (3/6/2021).

Disampaikan Badai, dari data Center for Disease Control and Prevention (CDC) di tahun 2020, ditemukan banyak pasien Covid 19 juga mengalami penyakit hipertensi. "Dari data CDC, hipertensi adalah komorbid atau penyakit penyerta terbanyak yang dialami penderita Covid 19. Sebanyak 60 persen pasien Covid 19 mengalami hipertensi," kata dia. Tekanan darah tinggi yang terjadi dalam jangka waktu lama akan melemahkan sistem kekebalan tubuh sehingga membuat tubuh rentan tertular infeksi.

Pasien Covid 19 dengan tensi yang tidak terkendali, sambung Badai, akan berisiko terkena infeksi Covid 19 yang parah dan mengalami komplikasi. "Komplikasi itu bisa bentuknya stroke hingga serangan jantung," cetus Badai. Faktor risiko hipertensi terbagi menjadi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi atau tidak bisa diubah, dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.

"Umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga adalah faktor risiko hipertensi yang tidak dapat diubah atau dimodifikasi," tutur dia. Sementara itu, faktor risiko hipertensi yang bisa dimodifikasi meliputi pola makan dan gaya hidup kita. Pola makan yang disarankan untuk mencegah hipertensi di antaranya adalah membatasi konsumsi garam. Kemudian memperbanyak buah dan sayuran.

Buah dan sayuran mengandung kalium, kalsium dan magnesium, yang bisa mencegah hipertensi. Tak kalah penting, aktivitas fisik juga harus dilakukan secara teratur. "Cobalah berjalan kaki sejauh 3 kilometer, atau berolahraga selama 30 menit, lima hari dalam seminggu."

Badai memaparkan, berdasarkan sebuah data terungkap sebanyak 32 persen orang tidak pernah mengetahui berapa tekanan darah yang dimiliki karena tidak pernah mengukur atau mengecek tekanan darahnya. Risiko hipertensi bisa diketahui lebih awal dengan melakukan pengukuran tekanan darah di rumah (PTDR) atau disebut home blood pressure monitoring (HBPM). Disebutkan Badai, tensi meter yang terdapat di rumah tangga dengan tensi meter yang digunakan oleh rumah sakit memiliki perbedaan dalam mengukur tekanan darah.

"Di rumah sakit, jika tensi meter rumah sakit menunjukkan tekanan darah sistolik di atas 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik di atas 90 mmHg, itu namanya hipertensi." "Sementara saat menggunakan tensi meter rumahan, kita dikatakan mengalami hipertensi apabila angka tekanan darah sistolik di atas 135 mmHg dan atau tekanan darah diastolik di atas 85 mmHg," sebut Badai. Artikel ini merupakan bagian dari

KG Media. Ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.

Anda mungkin juga suka...

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *